Rabu, 13 April 2016

Ini Etika Menasihati


Oleh: Miftah al-Banjary

Harun ibn ‘Abdillah, seorang ulama ahli hadis yang juga pedagang kain di kota Baghdad bercerita: Suatu hari, saat malam beranjak larut, pintu rumahku di ketuk. “Siapa?” tanyaku. “Ahmad,” jawab orang di luar pelan. “Ahmad yang mana?” tanyaku makin penasaran.

“Ibn Hanbal,” jawabnya pelan. "Subhanallah, itu guruku!" kataku dalam hati. Maka kubuka pintu. Kupersilakan beliau masuk dan kulihat beliau berjalan berjingkat, seolah tak ingin terdengar langkahnya.

Saat kupersilakan untuk duduk, beliau menjaga agar kursinya tidak berderit mengeluarkan suara. “Wahai guru, ada urusan yang penting apakah sehingga dirimu mendatangiku selarut ini?”

“Maafkan aku ya Harun. Aku tahu biasanya engkau masih terjaga meneliti hadis selarut ini, maka aku pun memberanikan diri mendatangimu. Ada hal yang mengusik hatiku sedari siang tadi.” Aku terkejut. Sejak siang?

“Apakah itu wahai guru?” “Mmmm begini!” Suara Ahmad ibn Hanbal sangat pelan, nyaris berbisik. “Siang tadi aku lewat di samping majelismu, saat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Aku saksikan murid-muridmu terkena terik sinar mentari saat mencatat hadis-hadis, sementara dirimu bernaung di bawah bayangan pepohonan. Lain kali, janganlah seperti itu wahai Harun! Duduklah dalam keadaan yang sama sebagaimana murid-muridmu duduk!”

Aku tercekat, tak mampu berkata. Maka beliau berbisik lagi, mohon pamit, melangkah berjingkat dan menutup pintu hati-hati. Masya Allah! Inilah guruku Ahmad ibn Hanbal, begitu mulianya akhlak beliau dalam menyampaikan nasehat.

Beliau bisa saja meluruskanku langsung saat melintasi majelisku. Tapi itu tidak dilakukannya demi menjaga wibawaku di hadapan murid-muridku. Beliau juga rela menunggu hingga larut malam agar tidak ada orang lain yang mengetahui kesalahanku.

Bahkan beliau berbicara dengan suara yang sangat pelan dan berjingkat saat berjalan, agar tak ada anggota keluargaku yang terjaga. Lagi-lagi demi menjaga wibawaku sebagai imam dan teladan bagi keluargaku.

Dari kisah di atas, kita bisa belajar bagaimana arifnya Ahmad bin Hanbal; seorang imam mazhab menyampaikan nasihat kepada muridnya sendiri. Nasihat bukan menunjukkan diri yang paling benar. Nasihat bukan untuk menunjukkan eksistensi diri atau arogansi.

Seringkali kita melupakan etika dalam menyampaikan nasehat. Nasehat hanya bisa diterima oleh hati yang benar-benar menginginkan kebaikan bagi orang yang dinasehatinya.

Jika nasehat yang disampaikan hanya untuk mempermalukan diri orang lain, niscaya nasehat tak lebih hanya akan menjadi bibit kebencian dan permusuhan.

Teringat perkataan Imam Asy Syafi’i, “Nasihati aku saat sendiri, jangan di saat ramai dan banyak saksi. Sebab nasehat di tengah khalayak, terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak; maka maafkan jika hatiku berontak.”
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

IKLAN