Minggu, 17 April 2016

Demi Waktu


Oleh: Ahmad Sastra

Kehidupan manusia di dunia adalah sebuah perjalanan, begitupun di akhirat kelak. Bedanya, perjalanan di dunia adalah bekal untuk perjalanan di akhirat. Sikap dan perilaku selama perjalanan hidup di dunia ini menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat.

Perjalanan hidup di dunia dibatasi oleh waktu yang sangat singkat sementara di akhirat adalah kehidupan abadi sepanjang waktu. Waktu. Satu kata singkat, namun memberikan dampak besar kehidupan manusia dan seluruh makhluk lainnya.

Karena itu, Allah SWT sering kali berfirman, dengan menggunakan waktu sebagai pertanda akan pentingnya hal tersebut bagi kehidupan manusia. Di antaranya, demi masa (QS al- 'Ashr : 1), demi malam apabila menutupi waktu siang (QS al-Lail : 1), demi fajar (QS al-Fajr : 1) dan demi waktu matahari sepenggal naik (dhuha) (QS adh-Dhuha :1).

Imam Fakhruddin Ar Razi mengatakan dalam tafsirnya ketika menafsirkan surah al-'Ashr bahwa Allah SWT telah bersumpah demi waktu karena di dalam waktu memang mengandung berbagai keajaiban.

Di dalam perjalanan waktu terdapat senang dan susah, sehat dan sakit, serta betapa berharga dan mahalnya waktu yang tidak bisa dinilai dengan sesuatu apa pun. Bagi seorang Muslim, waktu adalah kehidupan dan kematian sekaligus.

Seorang Muslim memahami waktu dalam tiga ranah, yakni lampau, sekarang, dan nanti. Waktu lampau dimaknai bahwa kehadirannya di dunia ini diawali oleh penciptaan dirinya oleh Allah SWT.

Tidak akan ada segala sesuatu di dunia ini termasuk manusia jika Allah tidak menciptakan. Kehidupan manusia dan segala apa yang ada adalah ciptaan Allah, bukan ada dengan sendirinya.

Dengan demikian, waktu lampau dimaknai oleh seorang Muslim sebagai refleksi keimanan akan keberadaan Allah Sang Pencipta.

Waktu sekarang oleh seorang Muslim dimaknai sebagai tujuan utama Allah menciptakan manusia, yakni sebagai sang pengabdi. Waktu sekarang adalah perjalanan ibadah untuk menggapai ridha Allah.

Seorang Muslim menyadari sepenuhnya bahwa sepanjang perjalanan hidupnya akan dipergunakan untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan Allah.

Allah SWT dengan tegas mengingatkan dalam surah al-'Ashr, demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.

Ayat ini menuturkan bahwa keberuntungan seorang Muslim adalah saat mengisi waktu hidupnya dengan keimanan, amal saleh, dan saling menasihati tentang kebenaran dan kesabaran.

Ketiga adalah waktu esok atau nanti. Seorang Muslim meyakini bahwa kehidupan ini akan berakhir dengan adanya kematian. Kematian adalah batas kehidupan sesungguhnya di akhirat. Waktu nanti adalah kembalinya manusia kepada Sang Pencipta, Allah SWT.

Semua manusia akan mati dan kembali kepada-Nya. Kondisi kembalinya manusia kepada Sang Pencipta sangat bergantung kepada bagaimana manusia mengisi waktu selama hidup di dunia. Panjang pendeknya umur di dunia tidaklah sesuatu yang penting.

Yang terpenting adalah cara manusia mengisi waktu hidupnya tersebut. Apa pun profesi manusia di dunia, apakah seorang pemimpin, ulama, petani, guru, orang tua, anak, istri, maupun suami, seluruhnya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di waktu nanti, yakni kehidupan akhirat.

Hanya adalah dua tempat bagi manusia di waktu nanti: surga dan neraka. Karena itu, bagi seorang Muslim, semestinya menjalani kehidupan di dunia ini harus istiqamah dalam kebaikan. Sebaliknya, bagi orang-orang kafir, kehidupan di dunia ini adalah waktu untuk menyadari kekafirannya dan kembali kepada keimanan.

Dalam hal ini, Allah memberikan umur yang lebih panjang untuk dijadikan sebagai kesempatan merenung dan berpikir untuk kembali kepada keimanan kepada Allah dan meninggalkan kekafiran, jika ingin selamat dunia akhirat.

Dan, mereka berteriak di dalam neraka itu, "Ya Tuhan Kami, keluarkanlah Kami, niscaya Kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah Kami kerjakan." Dan Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka, rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun. (QS Fathir: 37).

Rabu, 13 April 2016

Doa Menjelang Ujian



Oleh: Imam Nur Suharno

Doa bersama menjelang digelarnya ujian seakan menjadi sebuah tradisi tersendiri di lingkungan sekolah. Hal itu dilakukan sebagai upaya pemantapan mental siswa.

Agar kegiatan doa bersama itu tidak menjadi sekadar rutinitas hendaknya pihak sekolah melalui guru mata pelajaran pendidikan Agama Islam memahamkan kepada siswa tentang pentingnya doa. Sebab kesuksesan, termasuk dalam ujian, tidak ditentukan oleh kecerdasan siswa, melainkan adanya pertolongan Allah SWT (QS an-Nashr [110]: 1).

Siswa yang selalu berdoa –-bukan berdoa ketika lagi butuh-- akan terinternalisasi dalam dirinya dan memahami bahwa manusia tidak memiliki kuasa. Manusia hanya dapat berencana dan Tuhan-lah yang menentukan kesuksesan itu, termasuk kesuksesan dalam ujian.

Karenanya sebelum, selama, dan setelah ujian pun siswa hendaknya terus berdoa. Melalui doa, siswa akan lebih tenang, rileks, dan lebih fokus dalam menghadapi ujian.

Terkait hal ini Rasulullah SAW memberikan tuntunan doa mengusir kegelisahan. ”Allahumma inni a’udzubika minal hammi wal hazan, wa a’udzubika minal ’ajzi wal kasal, wa a’udzubika minal jubni wal bukhl, wa a’udzubika min ghalabatid daini wa qahrir rijal.”

”Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari rasa sesak dada dan kesedihan, dan aku berlindung pada-Mu dari ketidakberdayaan dan kemalasan, dan aku berlindung pada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung pada-Mu dari problem keuangan dan tekanan orang lain.'' (HR Abu Dawud).

Pertanyaannya, kapan waktu yang tepat untuk berdoa? Terkait hal ini Rasulullah SAW menginsyaratkan waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa.

Di antaranya, yaitu pada sepertiga malam (HR Muslim), pada hari Jumat (HR Bukhari dan Muslim), sesudah shalat lima waktu (HR Tirmidzi), dan waktu antara adzan dan iqamat (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Selain dengan penguatan melalui doa, siswa hendaknya berusaha (belajar) secara rutin dengan bimbingan guru di sekolah dan orang tua di rumah. Berdoa dan belajar bagi siswa harus dilakukan secara istikamah, bukan musiman.

Setelah itu lakukan tawakal, serahkan hasil akhir (lulus atau tidak lulus dalam UN) sepenuhnya kepada Allah SWT. Di sinilah perlunya internalisasi siswa melalui tradisi DUIT (Doa dan Usaha dilakukan secara Istikamah, lalu Tawakal).

Dan untuk membumikan tradisi tersebut pihak sekolah harus bekerja keras (berjihad) melawan tradisi yang sudah mendarah daging di kalangan siswa, yaitu tradisi SKS (Sistem Kebut Semalaman).

Untuk menghentikan tradisi SKS di lingkungan sekolah, pihak guru (di sekolah), orang tua (di rumah), dan masyarakat sebagai kontrol sosial hendaknya terus mengkampanyekan secara masif DUIT yes, SKS no.

Dengan demikian, jika tradisi DUIT ini dapat mengalahkan tradisi SKS di lingkungan sekolah maka tidak menutup kemungkinan akan dapat mengantarkan kepada kesuksesan siswa dalam menghadapi ujian dengan hasil yang terbaik. Semoga.

Ini Etika Menasihati


Oleh: Miftah al-Banjary

Harun ibn ‘Abdillah, seorang ulama ahli hadis yang juga pedagang kain di kota Baghdad bercerita: Suatu hari, saat malam beranjak larut, pintu rumahku di ketuk. “Siapa?” tanyaku. “Ahmad,” jawab orang di luar pelan. “Ahmad yang mana?” tanyaku makin penasaran.

“Ibn Hanbal,” jawabnya pelan. "Subhanallah, itu guruku!" kataku dalam hati. Maka kubuka pintu. Kupersilakan beliau masuk dan kulihat beliau berjalan berjingkat, seolah tak ingin terdengar langkahnya.

Saat kupersilakan untuk duduk, beliau menjaga agar kursinya tidak berderit mengeluarkan suara. “Wahai guru, ada urusan yang penting apakah sehingga dirimu mendatangiku selarut ini?”

“Maafkan aku ya Harun. Aku tahu biasanya engkau masih terjaga meneliti hadis selarut ini, maka aku pun memberanikan diri mendatangimu. Ada hal yang mengusik hatiku sedari siang tadi.” Aku terkejut. Sejak siang?

“Apakah itu wahai guru?” “Mmmm begini!” Suara Ahmad ibn Hanbal sangat pelan, nyaris berbisik. “Siang tadi aku lewat di samping majelismu, saat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Aku saksikan murid-muridmu terkena terik sinar mentari saat mencatat hadis-hadis, sementara dirimu bernaung di bawah bayangan pepohonan. Lain kali, janganlah seperti itu wahai Harun! Duduklah dalam keadaan yang sama sebagaimana murid-muridmu duduk!”

Aku tercekat, tak mampu berkata. Maka beliau berbisik lagi, mohon pamit, melangkah berjingkat dan menutup pintu hati-hati. Masya Allah! Inilah guruku Ahmad ibn Hanbal, begitu mulianya akhlak beliau dalam menyampaikan nasehat.

Beliau bisa saja meluruskanku langsung saat melintasi majelisku. Tapi itu tidak dilakukannya demi menjaga wibawaku di hadapan murid-muridku. Beliau juga rela menunggu hingga larut malam agar tidak ada orang lain yang mengetahui kesalahanku.

Bahkan beliau berbicara dengan suara yang sangat pelan dan berjingkat saat berjalan, agar tak ada anggota keluargaku yang terjaga. Lagi-lagi demi menjaga wibawaku sebagai imam dan teladan bagi keluargaku.

Dari kisah di atas, kita bisa belajar bagaimana arifnya Ahmad bin Hanbal; seorang imam mazhab menyampaikan nasihat kepada muridnya sendiri. Nasihat bukan menunjukkan diri yang paling benar. Nasihat bukan untuk menunjukkan eksistensi diri atau arogansi.

Seringkali kita melupakan etika dalam menyampaikan nasehat. Nasehat hanya bisa diterima oleh hati yang benar-benar menginginkan kebaikan bagi orang yang dinasehatinya.

Jika nasehat yang disampaikan hanya untuk mempermalukan diri orang lain, niscaya nasehat tak lebih hanya akan menjadi bibit kebencian dan permusuhan.

Teringat perkataan Imam Asy Syafi’i, “Nasihati aku saat sendiri, jangan di saat ramai dan banyak saksi. Sebab nasehat di tengah khalayak, terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak; maka maafkan jika hatiku berontak.”

Selasa, 22 Maret 2016

Sukses Bersama Alquran


Oleh: Imam Nur Suharno

Ujian nasional (UN) akan kembali dilaksanakan. Dalam menghadapi UN, tidak sedikit siswa yang menggunakan cara instan, seperti sistem kebut semalaman (SKS) hingga menyontek secara terorganisasi. Jika berhasil (lulus UN), maka ilmu yang didapat tidak akan berkah.

Jika demikian, UN hanya akan mengantarkan siswa menjadi insan yang cerdas secara intelektual tetapi lemah secara spiritual. Selain persiapan secara akademis, ada upaya spiritual yang perlu dilakukan agar siswa dapat meraih sukses dalam UN.

Jika datang pertolongan Allah, maka kesuksesan itu pasti akan mudah diraih (QS an-Nashr [110]: 1). Bagaimana agar datang pertolongan Allah SWT? Di antaranya memperbanyak doa, terutama di sepertiga waktu malam. Selain dengan usaha belajar secara intensif, siswa hendaknya membiasakan diri dengan shalat Tahajud, dan doa (permohonan) yang mengiringi dalam Tahajud itu akan lebih mudah untuk dikabulkan.

Rasulullah SAW bersabda, "Ketahuilah, sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki, seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu dan melakukan shalat. Allah SWT berfirman kepada para Malaikat-Nya, 'Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?' Mereka menjawab, 'Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu.' Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan (cita-citakan) dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.'" (HR Ahmad).

Dan, jangan lupa untuk selalu membaca Alquran. Selain akan merasakan ketenangan jiwa, orang (siswa) yang sibuk dengan Alquran akan diberikan kemudahan dalam meraih setiap keinginan, termasuk kemudahan dalam menghadapi UN.

Dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan, "Barang siapa yang disibukkan oleh Alquran sehingga ia tidak sempat meminta (berdoa) kepada-Ku, akan Aku berikan kepadanya sesuatu yang paling baik yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta, dan keutamaan kalam Allah terhadap seluruh kalam selainnya adalah seperti keutamaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya." (HR Ahmad dan Thabrani).

Dengan demikian, jika setiap siswa yang mengikuti UN berharap dapat lulus dengan nilai terbaik, maka siswa yang sibuk dengan Alquran melalui aktivitas tilawah maupun menghafal dengan tetap belajar secara intensif, maka ia akan mendapatkan jaminan kemudahan dan meraih kesuksesan dalam UN.

Karena itu, sebelum, selama, dan setelah ujian nasional, siswa hendaknya tetap istiqamah dalam berinteraksi dengan Alquran sehingga kesuksesan akan selalu menyertainya. Yakinlah!

Bahkan untuk Wudhu, Rasulullah Melarang Boros


Oleh Kholil Misbach

Suatu saat Rasulullah SAW menemui sahabat Sa'ad yang sedang berwudhu. Ia berwudhu dengan banyak menggunakan air. Melihat hal ini Rasulullah SAW menegurnya. ''Mengapa engkau berbuat boros, wahai Sa'ad?'' Sa'ad menjawab, ''Apakah dalam air juga ada pemborosan?''

''Ya, walaupun engkau berada di sungai maupun lautan,'' jawab Nabi SAW. (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari hadis Ibnu Umar). Rasulullah SAW melarang umatnya berbuat boros dalam segala hal, kendatipun itu untuk keperluan berwudhu. Meski, Rasulullah SAW tetap menyuruh umatnya untuk berwudhu secara sempurna.

Hal ini menunjukkan bahwa beliau sangat menganjurkan umatnya untuk efisien dalam hal apa pun. ''Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya,'' begitulah sabda Nabi SAW yang telah menjadi teladan dan panutan bagi umatnya.

Hampir semua kebajikan berada di tengah dua perangkap setan, yaitu berlebihan dan kekurangan. Ini dapat dicontohkan dari sifat pemaaf, antara marah dan pengecut; sifat dermawan, antara berlebihan dan kikir; dan efisiensi, antara boros dan kekurangan.

Sebuah perusahaan akan kolaps kalau tidak melakukan efisensi penggunaan dana. Sebuah organisasi akan bubar kalau tidak memperhatikan efisiensi dalam pengaturan anggotanya. Begitu pula dengan pribadi manusia, ia akan merana dan tidak dapat berkembang kalau tidak menerapkan prinsip efisiensi dalam dirinya.

Karena efisiensi jelas akan menghemat segala sesuatu, sehingga dapat digunakan untuk kebaikan orang lain. Sisa dana hasil efisiensi akan termanfaatkan, karenanya tak ada penghamburan harta di atas penderitaan orang lain.

Akhirnya, ia tidak kikir terhadap dirinya maupun orang lain. Allah SWT memuji orang-orang yang tidak boros dan tidak kikir. ''Dan orang-orang yang jika berinfak tidak boros dan tidak kikir, dan ia menempuh jalan di antara keduanya.'' (QS Al-Furqan (25): 67).

Dalam tafsir al-Qurthubi disebutkan bahwa An-Nahhas telah berkata, ''Sebaik-baik penafsiran dalam ayat ini adalah barang siapa menggunakan hartanya tidak dalam ketaatan, maka termasuk berbuat boros (israf); dan barang siapa tidak menyumbang dalam ketaatan, maka ia termasuk berbuat kikir. Dan barangsiapa menggunakan hartanya untuk ketaatan itulah yang paling benar (qawam).''

Coba bayangkan kalau setiap orang mau melakukan efisiensi dengan cara yang paling sederhana, misalnya dengan tidak menggunakan lampu listrik pada siang hari, maka berapa kwh yang dapat dihemat dalam satu hari?

Dengan melakukan efisiensi di berbagai hal secara nasional, maka bangsa Indonesia akan mampu menghemat kekayaannya dan dapat berdiri dengan kekuatan sendiri. Kalau dengan tenaga dan kekuatan sendiri saja sudah mampu dan kuat, mengapa harus menggantungkan diri kepada bangsa lain?

Menggali Makna Basmalah


Oleh : Achmad Syalaby

Setiap amal yang dilandasi basmalah, insya Allah akan baik, indah dan sempurna. Sebab kita meniatkan dan mempersembahkannya untuk Allah. Pantaskah kita memberikan sesuatu yang buruk kepada Allah?

Dari seratus empat belas surat dalam Alquran hanya satu surat yang tidak diawali basmalah, yaitu QS At Taubah [9]. Apa artinya? Basmalah menduduki posisi sangat penting dalam Islam. Ia akan menentukan nilai sebuah amal, apakah bernilai ibadah atau tidak. Sehingga, semua yang kita lakukan harus berlandaskan basmalah. Kita dituntut untuk menggantungkan semua amal perbuatan kepada Allah, serta menghiasi amal-amal tersebut dengan kasih sayang.

Secara syar'i, membaca basmalah hukumnya bisa wajib dan juga bisa sunat. Saat menyembelih hewan misalnya, membaca basmalah hukumnya wajib. Jika tidak diucapkan maka daging hewan sembelihan menjadi tidak halal. Dalam situasi khusus, misalnya saat suami dan istri hendak beribadah, maka basmalah harus diucapkan. Basmalah pun hukumnya bisa sunat, misalnya saat kita makan dan minum. Ketika kita tidak mengucapkannya, makanan dan minuman yang kita konsumsi statusnya tetap halal.

Dilihat dari susunan katanya, basmalah berisi kata bi yang artinya dengan, dan kata ismillah yang artinya menyebut nama Allah. Dalam kaidah lughah, kata bi itu harus ada muta'alif-nya, seperti  dengan pulpen. Apa yang dengan pulpen? Artinya menulis dengan pulpen. Contoh lain dengan sendok. Apa yang dengan sendok? Makan misalnya, berarti memakan dengan menggunakan sendok.

Nah, dalam kalimat basmalah, Dengan menyebut nama Allah, di mana letak muta'alif-nya atau sebelumnya? Para ulama mengondisikan muta'alif itu sesuai dengan situasi tertentu. Misalnya saat makan kita mengucapkan basmalah, maka artinya kita sedang makan dengan menyebut nama Allah. Muta'alif itu sendiri berati amal yang mengiringi kata dengan atau bi.

Allah adalah lafdu jalallah; artinya Allah adalah lafadz yang sangat agung. Dalam bahasa Arab, lafadz Allah tidak memiliki asal kata. Kita tahu unsur kata Allah bukan dari buatan manusia namun langsung dari Allah sendiri. Karena itu, kata Allah inilah yang disebut sebagai lafadz yang sangat agung. Bahwa Allah memiliki nama dan sifat yang sangat agung, maka kita paham bahwa setiap kali mengucapkan basmalah, maka kita memulai ucapan dengan nama yang teramat agung yaitu Allah.

Dalam basmalah termaktub dua asma' Allah teragung, yaitu Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim. Walau ada sembilan puluh sembilan nama Allah, namun hanya Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim atau Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang yang disebutkan. Mengapa? Sebab dua sifat ini yang mendominasi dan paling umum. Dilihat secara bahasa untuk setiap kata-katanya, Bismillah, lalu Ar-Rahmaan, kemudian Ar-Rahiim. Arti dari kalimat pertama adalah Dengan menyebut nama Allah. Kalimat berikutnya, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Hal ini membuktikan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang terhadap semua makhluk ciptaan-Nya.

Penyebutan Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim ini mengandung dua konsekuensi. Pertama, kata Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim ini adalah hak prerogatif Allah. Dia berkehendak menyebutkan namanya sesuai dengan Alquran dan hadis. Kedua, dengan kata Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim, Allah seakan memperkenalan Diri kepada makhluk-Nya agar mereka lebih dekat dan lebih jelas dalam mengenal Dzat Pencipta.

Minggu, 13 Maret 2016

Guru, Relakah Jika Hidupmu Penuh Kebersahajaan?

Oleh: Asep Sapaat

Setiap guru boleh kaya. Tak ada satu pun hukum yang melarangnya. Namun, yang paling mulia ketika guru menjadikan kesederhanaan sebagai cara hidupnya meski dia punya kekayaan melimpah. Dengan hidup sederhana, guru akan merasa cukup, bahagia, dan senantiasa bersyukur kepada Allah SWT. 

Firman Allah SWT, "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya, para pemboros adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS al-Isra: 26 – 27).

Guru harusnya memang hidup sederhana. Pertama, hidup sederhananya guru itulah pendidikan. Bagi guru sendiri, mereka sungguh-sungguh praktik mendidik dirinya agar tak terjebak hidup boros, konsumtif, dan hedonis. Jika guru sebagai orang tua mampu membina keluarganya menjadi potret keluarga sederhana itulah sumber inspirasi. Dia jadi terhormat, dicintai, dan didengar kata-katanya.

Ini mendorong murid, orang tua murid, rekan sejawat, dan masyarakat untuk juga berperilaku sederhana. Imam Al Ghazali menyatakan, tidak boleh orang tua membiasakan anaknya hidup mewah. Sebab, kalau sejak dini anak dibiasakan dengan gaya hidup mewah maka ia akan menghabiskan umurnya dalam kehidupan yang serbamewah itu. Akibatnya ia akan jatuh dalam jurang kehancuran untuk selama-lamanya.

Kedua, guru wajib memiliki kesadaran pilihan mengapa harus hidup sederhana. Memang, guru dituntut untuk sadar posisi. Posisi guru memiliki tanggung jawab moral sebagai sumber keteladanan. Guru berbeda posisinya dengan pengusaha, misalnya. Bila ingin kaya jadilah pengusaha. Namun, kaya saat dan setelah menjadi guru, itulah masalahnya. Untuk apa menjadi guru? Amanah guru adalah mengajar dan mendidik, bukan memperkaya diri. Andai pun lewat usaha yang halal dan thayib, guru bisa menjadi kaya. Masih punya kesadarankah untuk tetap bersahaja?

Berperilaku sederhana merupakan salah satu cerminan dari sifat rendah hati. Dengan rendah hati untuk sederhana, kehidupan guru jadi sehat dan bahagia. Guru bisa mengontrol diri dan tak terjerat dalam nafsu yang membinasakan. Sikapnya jauh dari kesan sombong dan mengedepankan sikap kanaah. Dari Abdullah bin 'Amr bin al-Ash ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh berbahagialah orang yang masuk agama Islam serta diberi rezeki cukup dan diberi sifat kanaah (suka menerima) dengan apa-apa yang telah dikaruniakan oleh Allah." (HR Muslim).

Ketiga, guru yang ingin hidup sederhana, pasti menolak segala bentuk suap. Suap bisa datang dari siapa saja. Misalnya, saat guru menerima segala jenis hadiah dan pemberian dari orang tua murid. Sadarkah kehormatan dan kewibawaan guru bakal tergadai? Ketika anak tersebut nilai pelajarannya jelek, masihkah guru berani mengutarakan fakta yang sebenarnya pada orang tua murid? Dengan menolak suap, guru akan berkonsentrasi bekerja. Dalam membuat keputusan akan adil dan tak dipengaruhi pihak-pihak penyuap. Guru bersahaja selalu merasa cukup dengan rezeki yang diperoleh. Dampaknya, mereka jadi insan yang pandai bersyukur dan tak tergoda untuk memperkaya diri apalagi dengan cara penuh maksiat.

Akhirnya, kita bisa memetik hikmah dan pelajaran saat Umar RA memasuki kamar Nabi dan menemui Rasulullah SAW yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Rasulullah bertanya, "Apakah yang membuatmu menangis, wahai putra Khattab?"

Lalu Umar menjawab, "Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah membekas di pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara, kaisar Romawi dan raja Persia bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini."

Rasulullah SAW lalu bersabda, "Wahai putra Khattab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka?" Umar RA menjawab: "Tentu saja aku rela..." (Shahih Muslim No 2704). Wahai para guru, relakah jika hidupmu penuh kebersahajaan?

IKLAN